Terdapat fenomena mengapa sapi perah
produksi tinggi sulit berkembang biak. Beda dengan fenomena 1, 2 dan 3 yang
berhubungan dengan sistem hormonal atau endokrinologi reproduksi. Pada fenomena
4 ini berhubungan dengan perubahan beban fisiologis sapi perah sehubungan
dengan produksi susu yang tinggi itu. Adapan lebih jelasnya adalah sebagai
berikut.
(4). Dalam menjalankan atau menjalani
satu siklus reproduksi (satu calving interval) sapi perah. Setelah melahirkan
sapi memasuki periode laktasi dan 'days open'.
Hari kosong yang lamanya 2 minggu ini uterus mengalami involusi, kembali ke
normal mempersiapkan bunting berikutnya. Terdapat 2 beban fisiologis pada
periode ini adalah beban fisiologis untuk hidup pokok dan laktasi. Setelah dua
bulan sapi harus bunting lagi dan memasuki awal puncak laktasi, sehingga
menanggung 3 beban fisiologis, yaitu hidup pokok, puncak laktasi dan bunting.
Memasuki bulan ke 7 kebuntingan sapi
dikeringkan (kering kandang selama kira-kira 2 bulan), sehingga beban
fisiologis menjadi 2 lagi yaitu hidup pokok dan bunting tua. Artinya selama
satu kali siklus reproduksi yang lamanya kira-kira satu tahun, sebagian besar
waktu hidup sapi yaitu sekitar 8 bulan harus menanggung 3 beban fisiologis
sekaligus yang nota bene sangat berat menuju puncak laktasi dan bunting tua,
apalagi sapi perah produksi tinggi.
Konsekuensi dari fenomena ini adalah
harus tersedia pakan yang lebih dari cukup (meningkat lebih banyak dari
biasanya) dan berimbang secara kwalitatif maupun kwantitatif. Meskipun
manajemem mampu memenuhi kebutuhan pakan sesuai dengan perhitungan yang mungkin
meningkat 2-3 kali dari biasanya. Perlu diingat bahwa kemampuan sapi
menghabiskan pakan tidak sebanding dengan jumlah pakan yang harus dihabiskan
pada periode itu. Selain tidak cukup waktu meskipun diberikan secara ad
libitum, harus diingat bahwa sapi membutuhkan waktu untuk mengunyah
ulang/memamah biak.
Di lain pihak kapasitas perut sapi
juga terbatas, apalagi sudah terdapat sisa-sisa serat kasar pakan yang tidak
tercerna dan menumpuk memenuhi sebagian rongga rumen sehingga kapasitas makin
berkurang. Sebagai akibat adalah sapi mengalami malnutrisi dengan segala
akibatnya penyakit defesiensi dan penyakit metabolik. Antara lain ketosis,
hipokalsemia atau milk fever dan sejenisnya. Akibat lebih lanjut adalah
paresis, paralisis sapi ambruk dengan segala komplikasi yang menyertai,
diantaranya anoreksia, kembung, pneumonia.
Kelihatannya 'aneh' sapi menderita
nafsu makan menurun, akibat 'kekurangan' pakan. Tapi begitulah kenyataannya.Sangat
sulit mengatasi kondisi semacam ini karena terdapat faktor kausatif yang
komplek berakibat komplikasi. Ujung-ujungnya dari kasus ini adalah sapi harus
dipotong paksa atau bahkan kedahuluan mati sia-sia.
Dapat disimpulkan bahwa sapi perah produksi tinggi, bukan hanya sulit
berkembang biak tapi bahkan sulit untuk mempertahankan hak hidupnya. Karena itu
jangan biarkan kasus itu terjadi, lebih baik mencegah daripada mengobati.
Caranya adalah kurangi beban fisiologisnya dengan tidak memberi
kesempatan bunting, tetapi tetap mempunyai anak keturunan, berikan status
sebagai induk donor (induk genetis, induk biologis) melalui pemberdayaan
penerapan bioteknologi reproduksi.
