-->
Info Biologiku

Kumpulan Materi, Soal Biologi dan Perkembangan Sains semoga bermanfaat bagi pembaca

Rabu, Januari 06, 2016

TINJAUAN IMUNISASI MENURUT ISLAM

TINJAUAN IMUNISASI MENURUT ISLAM

tinjauan-imunisasi-menurut-islam

Imunisasi dapat diartikan sebagai induksi imunitas baik secara aktif maupun pasif. Imunisasi secara aktif merupakan stimulasi sistem imun untuk membentuk pertahanan terhadap penyakit, yaitu dengan pemberian vaksin atau toksoid. Vaksin adalah sebuah senyawa antigen yang berfungsi untuk meningkatkan imunitas terhadap virus. Vaksin terbuat dari virus yang telah dilemahkan dengan menggunakan bahan tambahan seperti formaldehid dan thymerosal. Pemberian vaksin (Vaksinasi) dilakukan baik secara oral atau pun injeksi dalam rangka untuk memproduksi sistem immune (kekebalan tubuh) seseorang terhadap suatu penyakit. Berdasarkan teori antibody, ketika benda asing masuk seperti virus dan bakteri ke dalam tubuh manusia, maka tubuh akan menandai dan merekamnya sebagai suatu benda asing. Kemudian tubuh akan membuat perlawanan terhadap benda asing tersebut dengan membentuk yang namanya antibody terhadap benda asing tersebut. Antibodi yang dibentuk bersifat spesifik yang akan berfungsi pada saat tubuh kembali terekspos dengan benda asing tersebut.

Jenis-jenis vaksinasi yang ada antara lain vaksin terhadap penyakit hepatitis, polio, Rubella, BCG, DPT, Measles Mumps Rubella (MMR), cacar air dan jenis penyakit lainnya seperti influenza. Di Indonesia sendiri praktek vaksinasi yang hampir selalu dilakukan pada bayi dan balita adalah Hepatitis B, BCG, Polio dan DPT. Selebihnya seperti vaksinasi MMR adalah bersifat tidak wajib. Ada pun vaksinasi terhadap penyakit cacar air (smallpox) termasuk vaksinasi yang sudah tidak dilakukan lagi di Indonesia.

Sehubungan dengan adanya penyakit-penyakit yang berkembang saat ini dan telah beredarnya pemahaman metode kedokteran yang disebarluaskan oleh kedokteran barat, maka sebagai umat muslim sangat prihatin sekali dengan kondisi ini. Metode kesehatan ala modern dengan teori trial and error mengatakan bahwa, penyakit itu bisa disembuhkan bila disuntikkan virus dan bakteri yang bersumber dari penyakit, agar manusia kebal. Virus yang disuntikkan ke tubuh itu adalah virus yang diambil dari cairan darah orang yang terkena penyakit AIDS/HIV, Hepatitis B, Herpes, atau lainnya lalu dibiakkan di media-media seperti ginjal kera, lambung babi, ginjal anjing, sapi anthrax, menggunakan jaringan janin manusia yang digugurkan, ditambahkan merkuri/ timerosal/ air raksa atau logam berat sebagai bahan pengawetnya. Sedikit ulasan di atas menunjukkan bahwa hingga kini kontroversi mengenai masalah imunisasi masih terus ada. Oleh karena itu, pembahasan ini dirasa sangat penting, untuk menambah sudut pandang kita dalam hal imunisasi.

 TINJAUAN KEHALALAN VAKSIN


Dalam proses pembuatan vaksin, penggunaan ginjal kera sebagai media perkembangbiakan virus memang bukan menjadi rahasia lagi. Vaksin polio contohnya, dibuat dari campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda, dan ekstrak mentah lambung babi. Selain itu beberapa vaksin juga dapat diperoleh dari aborsi calon bayi manusia yang sengaja dilakukan. Vaksin untuk cacar air, Hepatitis A dan MMR diperoleh dengan menggunakan fetal cell line yang diaborsi, MRC-5 dan WI-38.
Beberapa konsep imunisasi halal yang dianjurkan oleh Islam adalah sebagai berikut:
  1. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang memaksimalkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia;
  2. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang meminimalkan dan menghilangkan zat yang bersifat menurunkan kerja sistem imun atau kekebalan tubuh manusia;
  3. Menjauhkan dan menghentikan asupan nutrisi yang bersifat menurunkan pembangunan dan pemeliharaan system imun atau kekebalan tubuh manusia;
  4. Tidak memberikan vaksinasi yang mengandung Toksin/Racun bahan berbahaya yang menjadi ancaman kesehatan manusia seperti kimiawi sintetis, logam berat (Heavy Metal), hasil metabolit parsial, toksin bakteri, serta komponen dinding sel;
  5. Tidak memberikan vaksinasi dan obat-obatan yang mengandung bahan yang
  6. haram secara syariat, seperti:

  • Alkohol dan turunannya, yaitu yang apabila dikonsumsi secara banyak akan memabukkan;
  • Tidak mengandung darah, daging babi, dan hewan yang ketika disembelih tidak menyebutkan nama Allah.
  • Tidak mengandung daging yang diharamkan menurut syariat, contoh: binatang buas, bertaring, bangkai dll.
  • Tidak dikembangbiakkan di dalam darah hewan apapun, daging babi, dan di dalam makhluk hidup yang diharamkan menurut syariat.
  • Membiasakan untuk mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifatmembangun sistem kekebalan tubuh manusia.
  • Membiasakan untuk tidak mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifat menururnkan sistem kekebalan tubuh manusia.
  • Selain hal tersebut, yang menjadi topiK dari pemberian vaksin ini adalah ditemukannya sejumlah kasus hasil penelitian dokter di Amerika yang menunjukkan bahwa bayi-bayi yang diimunisasi malah lebih rentan terhadap penyakit.


FATWA MUI (Majelis Ulama Indonesia) TENTANG IMUNISASI


Berdasarkan keputusan MUI No.16 tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa kehalalan atas vaksin polio. Ada kaidah usul fiqh yang mengatakan bahwa mencegah kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaatnya. Demikian alasan yang dijadikan dasar hukum pengambilan keputusan terhadap kehalalan vaksin polio sekalipun diketahui bahwa vaksin tersebut disediakan dari bahan yang tidak diperkenankan dalam Islam. Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).

Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga kalau dikhawatirkan terjadi wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena penyakit. Lalu bagaimana dengan Imunisasi yang menggunakan vaksin polio khusus (IPV) karena dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi. Berdasarkan surat Menteri Kesehatan RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

  • Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dari masyarakat secara serentak dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral;
  • Virus Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan anomaly;
  • Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi;
  • Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus;
  • Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi
  • Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas

PERNYATAAN BEBERAPA AHLI HUKUM ISLAM DAN KELOMPOK ULAMA Pro IMUNISASI


Thibbun Nabawy
Thibbun Nabawy mengemukakan tidak boleh pembuatan obat yang dicampuradukkan dengan pengobatan yang menggunakan bahan kimia sintetis sesuai dengan Firman Allah (QS. 2: 42) yang bunyinya sebagai berikut:

42. Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu , sedang kamu mengetahui.
Tetapi dalam hal teknologi misalnya alat-alat radiologi, stetoskop, bloodpressure (alat pengecekan tekanan darah) dll, boleh saja kita gunakan. Jadi Indonesia membutuhkan rumah sakit dengan peralatan canggih, tetapi obat-obatan menggunakan yang alami dan bukan dari barang/ benda haram.

Imam Ibnul-Qoyyim dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah
Imam Ibnul-Qoyyim mengungkapkan: “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.

Sesuai dengan Istihlak, yakni bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya. Apabila benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut : “Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (Shohih, Lihat Irwa’ul-Gholil:14) “Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23) Dua hadits tersebut menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.
Al-Izzu Bin Abdus Salam
Dharurat (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memiliki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badannya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan: “Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang” Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja. Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus Salam mengatakan : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.

Imam asy-Syathibi dan Imam asy-Syafi’i
Sesungguhnya syari’at islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”. Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala berkata: “Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.
Hukum Berobat dengan sesuatu yang haram terbagi menjadi dua bagian yaitu:
Berobat dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil: “Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)

Berobat dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat. Pertama: Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm, Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah (QS. Al- An’am [6] yaitu: Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.... Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit, Nabi membolehkan emas bagi sahabat Arfajah untuk menutupi aibnya, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya. Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah. Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (ash-Shohihah:4/174)

Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama (kebanyakan ulama), dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin. Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
  • Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati
  • Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
  • Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.
  • Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal-Buhuts
  • Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yaitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pintu fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur dengan memperbanyak benda-benda lainnya. Selain itu, keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.

Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.

KONTRA IMUNISASI

Imunisasi tergolong dalam hal syubhat jika tidak ada imunisasi yang mencantumkan komposisi pembuatannya. Hal ini didasarkan pada hadis berikut:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara-perkara syubhat, Kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari perkara syubhat tersebut, maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya,dan barangsiapa yang jatuh dalam perkara syubhat, maka dia jatuh kepada hal yang haram.Seperti seorang pengambala yang mengembala disekitar daerah larangan, lambat laun akan masuk kedalamnya. Ketahuilah, setiap raja memiliki daerah larangan, sedangkan daerah larangan Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal daging, apabila dia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila dia buruk maka buruklah seluruh jasad. Ketahuilah, dia adalah hati“ (Riwayat Bukhari & Muslim, dari Nu’man bin Basyir)
.
Imunisasi bisa menurunkan rasa tawakkal. Imunisasi umumnya mendorong orang untuk yakin bahwa anaknya tidak akan terkena penyakit tertentu karena telah memiliki kekebalan. Padahal semestinya berlindung dari segala macam bala/penyakit hanya kepada Allah. Jika kita cermati lagi maka inti dari dakwah semua Rasul adalah “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in (Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Mengambil sikap wara’ atau berhati-hati akan lebih baik.

Dalam proses pembuatan vaksin tersebut telah terjadi persenyawaan/persentuhan (ihtilath antara porcine yang najis dengan media yang digunakan untuk pembiakan virus bahan vaksin dan tidak dilakukan penyucian dengan cara yang dibenarkan syari’ah (tathhir syar’an) Hal itu menyebabkan media dan virus tersebut menjadi terkena najis (mutanadjis)

Dharar (bahaya) harus dihilangkan, dalam konteks Vaksinasi atau Imunisasi adalah konteks yang tidak pas. Lalu mana yang di sebut darurat? Bukankah orang yang divaksin dalam kondisi sehat?
Firman Allah tentang kesehatan Al Baqarah, 168 : Wahai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang ada di bumi dan janganlah ikuti langkah-langkah setan karena setan adalah musuh yang nyata bagimu. Rasulullah juga bersabda: Sesungguhnya Allah tidak pernah menciptakan kesembuhan dari hal yang di haramkan atas kalian. (hadis sohih)

Penyakit-penyakit infeksi yang mematikan di AS dan Inggris mengalami penurunan rata-rata sebesar 80%, itu terjadi sebelum ada vaksinasi. The British Association for the Advancement of Science menemukan bahwa penyakit anak-anak mengalami penurunan sebesar 90% antara 1850 dan 1940, dan hal itu terjadi jauh sebelum program imunisasi diwajibkan. Imunisasi lebih besar bahayanya, buktinya, pada tahun 1986, kongres AS membentuk The National Childhood Vaccine Injury Act, yang mengakui kenyataan bahwa vaksin dapat menyebabkan luka dan kematian. Beberapa racun dan bahan berbahaya yang biasa digunakan seperti Merkuri, Formaldehid, Aluminium, Fosfat, Sodium, Neomioin, Fenol, Aseton, dan sebagainya. Sedangkan yang dari hewan biasanya darah kuda dan babi, nanah dari cacar sapi, jaringan otak kelinci, jaringan ginjal anjing, sel ginjal kera, embrio ayam, serum anak sapi, dan sebagainya.

Dr. William Hay menyatakan, “Tak masuk akal memikirkan bahwa Anda bisa menyuntikkan nanah ke dalam tubuh anak kecil dan dengan proses tertentu akan meningkatkan kesehatannya. Tubuh punya cara pertahanan tersendiri yang tergantung pada vitalitas saat itu. Jika dalam kondisi fit, tubuh akan mampu melawan semua infeksi, dan jika kondisinya sedang menurun, tidak akan mampu. Dan Anda tidak dapat mengubah kebugaran tubuh menjadi lebih baik dengan memasukkan racun apapun juga ke dalamnya.” (Immunisation: The Reality behind the Myth)

PENYELESAIAN

Pada dasarnya Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan. Termasuk di dalamnya melakukan upaya preventif agar tidak terkena penyakit dan dan berobat manakala sakit. Misalnya Nabi saw memberikan satu petunjuk untuk menjaga kesehatan dengan bersabda,”Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”. Kita juga tidak boleh hanya bertahan pada kondisi darurat, melainkan juga melakukan usaha untuk perbaikan. Sudah sekian banyak ahli farmasi muslim lahir di Indonesia dan kita sudah memiliki pabrik vaksin sendiri. Oleh karena itu, sudah tentu tidak ada lagi alasan-alasan pada kondisi darurat. Jumlah balita di Indonesia pada tahun 2005 sebesar 24 juta jiwa, di mana 90% adalah muslim yang butuh vaksinasi yang halal dan aman dari sisi syar’i.

Nabi saw juga menganjurkan untuk berbekam, meminum madu, serta mengonsumsi sejumlah obat-obatan lainnya semisal habbatus sauda’ yang sangat bagus, baik sebagai upaya preventif untuk mencegah masuknya penyakit dan sebagai bentuk terapi pengobatan. Jadi, pada dasarnya imunisasi sebagai upaya pencegahan masuknya penyakit boleh dilakukan. Hanya saja, sebelum imunisasi dilakukan harus diperhatikan pula apakah cara dan jenis imunisasi tersebut tidak boleh berupa unsur yang haram. Kemudian, harus dipastikan pula bahwa jenis imunisasi yang diberikan aman dan sesuai bagi mereka yang hendak diimunisasi.

Setiap ibu yang baru melahirkan, pada dasarnya, wajib memberikan air susu yang pertama keluar (colostrum, al-liba’– kepada anaknya dan dianjurkan pula memberikan ASI sampai dengan usia dua tahun. Hal tersebut menurut para ahli kesehatan dapat memberikan kekebalan (imun) pada anak.

KESIMPULAN


Imunisasi dalam sudut pandang Islam pada dasarnya dibolehkan, berdasarkan fatwa di atas. Dasar imunisasi pada anak adalah untuk menghindari wabah. Fatwa MUI menyatakan konsep dasar tindakannya, dan sangat berbeda dengan konteks bagaimana cara manusia melakukannya. Bila dilakukan tidak sesuai dengan prosedur (pembuatan, penyimpanan, pemberian, penyuntikan, dll) sehingga menimbulkan efek lain maka ini adalah kasus pembahasan yang berbeda dari fatwa di atas. Fatwa di atas hanya menyatakan dasar tindakan pemberian imunisasi secara umum adalah boleh. Sedangkan bila diberikan dengan cara yang salah dan menimbulkan efek-efek negatif (gagal, timbul alergi, timbul efek samping, dll.) maka itu adalah suatu kesalahan prosedural, dan tidak ada hubungan dengan fatwa yang membolehkan tersebut.

Silakan kunjungi artikel Info Biologi lainnya.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : TINJAUAN IMUNISASI MENURUT ISLAM