TINJAUAN IMUNISASI MENURUT ISLAM
Imunisasi
dapat diartikan sebagai induksi imunitas baik secara aktif maupun pasif.
Imunisasi secara aktif merupakan stimulasi sistem imun untuk membentuk
pertahanan terhadap penyakit, yaitu dengan pemberian vaksin atau toksoid.
Vaksin adalah sebuah senyawa antigen yang berfungsi untuk meningkatkan imunitas
terhadap virus. Vaksin terbuat dari virus yang telah dilemahkan dengan
menggunakan bahan tambahan seperti formaldehid dan thymerosal. Pemberian vaksin
(Vaksinasi) dilakukan baik secara oral atau pun injeksi dalam rangka untuk
memproduksi sistem immune (kekebalan tubuh) seseorang terhadap suatu penyakit.
Berdasarkan teori antibody, ketika benda asing masuk seperti virus dan bakteri
ke dalam tubuh manusia, maka tubuh akan menandai dan merekamnya sebagai suatu
benda asing. Kemudian tubuh akan membuat perlawanan terhadap benda asing
tersebut dengan membentuk yang namanya antibody terhadap benda asing tersebut.
Antibodi yang dibentuk bersifat spesifik yang akan berfungsi pada saat tubuh
kembali terekspos dengan benda asing tersebut.
Jenis-jenis
vaksinasi yang ada antara lain vaksin terhadap penyakit hepatitis, polio,
Rubella, BCG, DPT, Measles Mumps Rubella (MMR), cacar air dan jenis penyakit
lainnya seperti influenza. Di Indonesia sendiri praktek vaksinasi yang hampir
selalu dilakukan pada bayi dan balita adalah Hepatitis B, BCG, Polio dan DPT.
Selebihnya seperti vaksinasi MMR adalah bersifat tidak wajib. Ada pun vaksinasi
terhadap penyakit cacar air (smallpox) termasuk vaksinasi yang sudah tidak
dilakukan lagi di Indonesia.
Sehubungan
dengan adanya penyakit-penyakit yang berkembang saat ini dan telah beredarnya
pemahaman metode kedokteran yang disebarluaskan oleh kedokteran barat, maka
sebagai umat muslim sangat prihatin sekali dengan kondisi ini. Metode kesehatan
ala modern dengan teori trial and error mengatakan bahwa, penyakit itu bisa
disembuhkan bila disuntikkan virus dan bakteri yang bersumber dari penyakit,
agar manusia kebal. Virus yang disuntikkan ke tubuh itu adalah virus yang
diambil dari cairan darah orang yang terkena penyakit AIDS/HIV, Hepatitis B,
Herpes, atau lainnya lalu dibiakkan di media-media seperti ginjal kera, lambung
babi, ginjal anjing, sapi anthrax, menggunakan jaringan janin manusia yang
digugurkan, ditambahkan merkuri/ timerosal/ air raksa atau logam berat sebagai
bahan pengawetnya. Sedikit ulasan di atas menunjukkan bahwa hingga kini
kontroversi mengenai masalah imunisasi masih terus ada. Oleh karena itu,
pembahasan ini dirasa sangat penting, untuk menambah sudut pandang kita dalam hal
imunisasi.
TINJAUAN KEHALALAN VAKSIN
Dalam
proses pembuatan vaksin, penggunaan ginjal kera sebagai media perkembangbiakan
virus memang bukan menjadi rahasia lagi. Vaksin polio contohnya, dibuat dari
campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu
termasuk serum dari sapi, bayi kuda, dan ekstrak mentah lambung babi. Selain
itu beberapa vaksin juga dapat diperoleh dari aborsi calon bayi manusia yang
sengaja dilakukan. Vaksin untuk cacar air, Hepatitis A dan MMR diperoleh dengan
menggunakan fetal cell line yang diaborsi, MRC-5 dan WI-38.
Beberapa
konsep imunisasi halal yang dianjurkan oleh Islam adalah sebagai berikut:
- Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang memaksimalkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia;
- Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang meminimalkan dan menghilangkan zat yang bersifat menurunkan kerja sistem imun atau kekebalan tubuh manusia;
- Menjauhkan dan menghentikan asupan nutrisi yang bersifat menurunkan pembangunan dan pemeliharaan system imun atau kekebalan tubuh manusia;
- Tidak memberikan vaksinasi yang mengandung Toksin/Racun bahan berbahaya yang menjadi ancaman kesehatan manusia seperti kimiawi sintetis, logam berat (Heavy Metal), hasil metabolit parsial, toksin bakteri, serta komponen dinding sel;
- Tidak memberikan vaksinasi dan obat-obatan yang mengandung bahan yang
- haram secara syariat, seperti:
- Alkohol dan turunannya, yaitu yang apabila dikonsumsi secara banyak akan memabukkan;
- Tidak mengandung darah, daging babi, dan hewan yang ketika disembelih tidak menyebutkan nama Allah.
- Tidak mengandung daging yang diharamkan menurut syariat, contoh: binatang buas, bertaring, bangkai dll.
- Tidak dikembangbiakkan di dalam darah hewan apapun, daging babi, dan di dalam makhluk hidup yang diharamkan menurut syariat.
- Membiasakan untuk mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifatmembangun sistem kekebalan tubuh manusia.
- Membiasakan untuk tidak mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifat menururnkan sistem kekebalan tubuh manusia.
- Selain hal tersebut, yang menjadi topiK dari pemberian vaksin ini adalah ditemukannya sejumlah kasus hasil penelitian dokter di Amerika yang menunjukkan bahwa bayi-bayi yang diimunisasi malah lebih rentan terhadap penyakit.
FATWA MUI (Majelis Ulama Indonesia) TENTANG IMUNISASI
Berdasarkan
keputusan MUI No.16 tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa kehalalan atas vaksin
polio. Ada kaidah usul fiqh yang mengatakan bahwa mencegah kemudharatan lebih
didahulukan daripada mengambil manfaatnya. Demikian alasan yang dijadikan dasar
hukum pengambilan keputusan terhadap kehalalan vaksin polio sekalipun diketahui
bahwa vaksin tersebut disediakan dari bahan yang tidak diperkenankan dalam
Islam. Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena termasuk penjagaan
diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda : “Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan
terhindar sehari itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).
Hadits
ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab untuk
membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga kalau
dikhawatirkan terjadi wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya
boleh berobat tatkala terkena penyakit. Lalu bagaimana dengan Imunisasi yang menggunakan
vaksin polio khusus (IPV) karena dalam proses pembuatannya menggunakan enzim
yang berasal dari babi. Berdasarkan surat Menteri Kesehatan RI Nomor:
1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
- Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dari masyarakat secara serentak dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral;
- Virus Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan anomaly;
- Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi;
- Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus;
- Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi
- Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas
PERNYATAAN BEBERAPA AHLI HUKUM ISLAM DAN KELOMPOK ULAMA Pro IMUNISASI
Thibbun
Nabawy
Thibbun
Nabawy mengemukakan tidak boleh pembuatan obat yang dicampuradukkan dengan
pengobatan yang menggunakan bahan kimia sintetis sesuai dengan Firman Allah
(QS. 2: 42) yang bunyinya sebagai berikut:
42.
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah
kamu sembunyikan yang hak itu , sedang kamu mengetahui.
Tetapi
dalam hal teknologi misalnya alat-alat radiologi, stetoskop, bloodpressure
(alat pengecekan tekanan darah) dll, boleh saja kita gunakan. Jadi Indonesia
membutuhkan rumah sakit dengan peralatan canggih, tetapi obat-obatan
menggunakan yang alami dan bukan dari barang/ benda haram.
Imam
Ibnul-Qoyyim dan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah
Imam
Ibnul-Qoyyim mengungkapkan: “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi
najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah
menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas
bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah
mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal
bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut
sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah
tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.
Sesuai
dengan Istihlak, yakni bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya
yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan
keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya. Apabila benda najis yang
terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar
adalah bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut : “Air itu suci, tidak ada
yang menajiskannya sesuatu pun.” (Shohih, Lihat Irwa’ul-Gholil:14) “Apabila air
telah mencapai dua qullah maka tidak najis.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23)
Dua hadits tersebut menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila
bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak
menyisakan warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati
dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat
ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh
dari logika.
Al-Izzu
Bin Abdus Salam
Dharurat
(darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika
seorang memiliki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan
tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badannya,
hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan: “Darurat
itu membolehkan suatu yang dilarang” Namun kaidah ini harus memenuhi dua
persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan
mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja. Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus
Salam mengatakan : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka
dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar
daripada kerusakan makan barang najis.
Imam
asy-Syathibi dan Imam asy-Syafi’i
Sesungguhnya
syari’at islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang
mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang
kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”. Semua syari’at itu
mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi.
Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala berkata: “Kaidah syari’at itu
dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.
Hukum
Berobat dengan sesuatu yang haram terbagi menjadi dua bagian yaitu:
Berobat
dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan
dalil: “Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR.
Muslim:1984)
Berobat
dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua
pendapat. Pertama: Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat Hanafiyyah,
Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm, Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah
(QS. Al- An’am [6] yaitu: Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya....
Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit,
Nabi membolehkan emas bagi sahabat Arfajah untuk menutupi aibnya, dan bolehnya
orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di
rambutnya. Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab Malikiyyah dan
Hanabillah. Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :“Sesungguhnya Allah
menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan
benda haram” (ash-Shohihah:4/174)
Alasan
lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama (kebanyakan
ulama), dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin. Pendapat
yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali
dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria
sebagai berikut :
- Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati
- Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.
- Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.
- Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal-Buhuts
- Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yaitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pintu fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur dengan memperbanyak benda-benda lainnya. Selain itu, keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.
Majelis
mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka
tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup
ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak
muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.
KONTRA IMUNISASI
Imunisasi
tergolong dalam hal syubhat jika tidak ada imunisasi yang mencantumkan
komposisi pembuatannya. Hal ini didasarkan pada hadis berikut:
“Sesungguhnya
yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada
perkara-perkara syubhat, Kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa
yang menjaga diri dari perkara syubhat tersebut, maka dia telah menjaga
agamanya dan kehormatannya,dan barangsiapa yang jatuh dalam perkara syubhat,
maka dia jatuh kepada hal yang haram.Seperti seorang pengambala yang mengembala
disekitar daerah larangan, lambat laun akan masuk kedalamnya. Ketahuilah,
setiap raja memiliki daerah larangan, sedangkan daerah larangan Allah adalah
apa-apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada
segumpal daging, apabila dia baik maka baiklah seluruh jasad, dan apabila dia
buruk maka buruklah seluruh jasad. Ketahuilah, dia adalah hati“ (Riwayat
Bukhari & Muslim, dari Nu’man bin Basyir)
.
Imunisasi
bisa menurunkan rasa tawakkal. Imunisasi umumnya mendorong orang untuk yakin
bahwa anaknya tidak akan terkena penyakit tertentu karena telah memiliki
kekebalan. Padahal semestinya berlindung dari segala macam bala/penyakit hanya
kepada Allah. Jika kita cermati lagi maka inti dari dakwah semua Rasul adalah
“Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in (Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya
kepada-Mu kami meminta pertolongan). Mengambil sikap wara’ atau berhati-hati
akan lebih baik.
Dalam
proses pembuatan vaksin tersebut telah terjadi persenyawaan/persentuhan
(ihtilath antara porcine yang najis dengan media yang digunakan untuk pembiakan
virus bahan vaksin dan tidak dilakukan penyucian dengan cara yang dibenarkan
syari’ah (tathhir syar’an) Hal itu menyebabkan media dan virus tersebut menjadi
terkena najis (mutanadjis)
Dharar
(bahaya) harus dihilangkan, dalam konteks Vaksinasi atau Imunisasi adalah
konteks yang tidak pas. Lalu mana yang di sebut darurat? Bukankah orang yang
divaksin dalam kondisi sehat?
Firman
Allah tentang kesehatan Al Baqarah, 168 : Wahai sekalian manusia makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang ada di bumi dan janganlah ikuti langkah-langkah
setan karena setan adalah musuh yang nyata bagimu. Rasulullah juga bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak pernah menciptakan kesembuhan dari hal yang di
haramkan atas kalian. (hadis sohih)
Penyakit-penyakit
infeksi yang mematikan di AS dan Inggris mengalami penurunan rata-rata sebesar
80%, itu terjadi sebelum ada vaksinasi. The British Association for the
Advancement of Science menemukan bahwa penyakit anak-anak mengalami penurunan
sebesar 90% antara 1850 dan 1940, dan hal itu terjadi jauh sebelum program
imunisasi diwajibkan. Imunisasi lebih besar bahayanya, buktinya, pada tahun
1986, kongres AS membentuk The National Childhood Vaccine Injury Act, yang
mengakui kenyataan bahwa vaksin dapat menyebabkan luka dan kematian. Beberapa
racun dan bahan berbahaya yang biasa digunakan seperti Merkuri, Formaldehid,
Aluminium, Fosfat, Sodium, Neomioin, Fenol, Aseton, dan sebagainya. Sedangkan
yang dari hewan biasanya darah kuda dan babi, nanah dari cacar sapi, jaringan
otak kelinci, jaringan ginjal anjing, sel ginjal kera, embrio ayam, serum anak
sapi, dan sebagainya.
Dr.
William Hay menyatakan, “Tak masuk akal memikirkan bahwa Anda bisa menyuntikkan
nanah ke dalam tubuh anak kecil dan dengan proses tertentu akan meningkatkan
kesehatannya. Tubuh punya cara pertahanan tersendiri yang tergantung pada
vitalitas saat itu. Jika dalam kondisi fit, tubuh akan mampu melawan semua
infeksi, dan jika kondisinya sedang menurun, tidak akan mampu. Dan Anda tidak
dapat mengubah kebugaran tubuh menjadi lebih baik dengan memasukkan racun
apapun juga ke dalamnya.” (Immunisation: The Reality behind the Myth)
PENYELESAIAN
Pada
dasarnya Islam sangat mendorong umatnya untuk senantiasa menjaga kesehatan.
Termasuk di dalamnya melakukan upaya preventif agar tidak terkena penyakit dan
dan berobat manakala sakit. Misalnya Nabi saw memberikan satu petunjuk untuk
menjaga kesehatan dengan bersabda,”Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah
pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”. Kita
juga tidak boleh hanya bertahan pada kondisi darurat, melainkan juga melakukan
usaha untuk perbaikan. Sudah sekian banyak ahli farmasi muslim lahir di
Indonesia dan kita sudah memiliki pabrik vaksin sendiri. Oleh karena itu, sudah
tentu tidak ada lagi alasan-alasan pada kondisi darurat. Jumlah balita di
Indonesia pada tahun 2005 sebesar 24 juta jiwa, di mana 90% adalah muslim yang
butuh vaksinasi yang halal dan aman dari sisi syar’i.
Nabi
saw juga menganjurkan untuk berbekam, meminum madu, serta mengonsumsi sejumlah
obat-obatan lainnya semisal habbatus sauda’ yang sangat bagus, baik sebagai
upaya preventif untuk mencegah masuknya penyakit dan sebagai bentuk terapi
pengobatan. Jadi, pada dasarnya imunisasi sebagai upaya pencegahan masuknya
penyakit boleh dilakukan. Hanya saja, sebelum imunisasi dilakukan harus
diperhatikan pula apakah cara dan jenis imunisasi tersebut tidak boleh berupa
unsur yang haram. Kemudian, harus dipastikan pula bahwa jenis imunisasi yang
diberikan aman dan sesuai bagi mereka yang hendak diimunisasi.
Setiap
ibu yang baru melahirkan, pada dasarnya, wajib memberikan air susu yang pertama
keluar (colostrum, al-liba’– kepada anaknya dan dianjurkan pula memberikan ASI
sampai dengan usia dua tahun. Hal tersebut menurut para ahli kesehatan dapat
memberikan kekebalan (imun) pada anak.
KESIMPULAN
Imunisasi
dalam sudut pandang Islam pada dasarnya dibolehkan, berdasarkan fatwa di atas.
Dasar imunisasi pada anak adalah untuk menghindari wabah. Fatwa MUI menyatakan
konsep dasar tindakannya, dan sangat berbeda dengan konteks bagaimana cara
manusia melakukannya. Bila dilakukan tidak sesuai dengan prosedur (pembuatan,
penyimpanan, pemberian, penyuntikan, dll) sehingga menimbulkan efek lain maka
ini adalah kasus pembahasan yang berbeda dari fatwa di atas. Fatwa di atas
hanya menyatakan dasar tindakan pemberian imunisasi secara umum adalah boleh.
Sedangkan bila diberikan dengan cara yang salah dan menimbulkan efek-efek
negatif (gagal, timbul alergi, timbul efek samping, dll.) maka itu adalah suatu
kesalahan prosedural, dan tidak ada hubungan dengan fatwa yang membolehkan
tersebut.
Silakan kunjungi artikel Info Biologi lainnya.